pengelolaan_sampah_DKI

Pengelolaan Sampah Dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Air Sungai Di DKI Jakarta

Statistik Penduduk Profil Daerah DKI Jakarta Tahun 2005 menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta 9.041.605 jiwa. Jumlah itu diperkirakan menjadi dua kali lipat di siang hari karena mobilitas penduduk yang bekerja di Jakarta datang dari daerah penyangga Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Kegiatan kehidupan penduduk itu antara lain menghasilkan produksi sampah, diperkirakan 12.000 ton per hari. Sekitar 20% dari produksi sampah itu tidak tertangani dan berserakan di penjuru kota setiap hari, sebagian menyumbat saluran-saluran air atau tertimbun di lahan kosong, sebagian lagi tak sengaja masuk atau dibuang ke sungai-sungai. Maka air sungai-sungai akan tercemar, kualitasnya menurun. Ada 13 sungai yang melintas Ibu Kota, semuanya bermuara di wilayah Jakarta Utara.

Sumber sampah paling banyak, menurut Metropolitan Environmental Improvement Program (MEIP), berasal dari permukiman atau rumah tangga. Di Jakarta, 67,86 % berasal dari rumah tangga, 9,15% dari pasar-pasar, 4,5% dari pertokoan, 3,2% dari kantor-kantor, 2,92% dari jalanan dan 8% dari pabrik.
    
Dari semua itu, paling banyak adalah jenis organik, bahkan bisa mencapai 75% dari jumlah sampah yang ada. Walaupun yang organik bisa didaur ulang dan dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah atau pupuk kompos, namun sayangnya belum dikelola secara maksimal dan profesional. Para pembuat pupuk kompos yang umumnya rakyat jelata mengeluh kesulitan memasarkan produknya.

Sampah yang menumpuk terlalu lama akan menyebarkan bau busuk yang menyengat dan sumber berbagai penyakit. Air sungai dan air tanah pun terkena kontaminasi. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa sungai adalah tempat yang ideal untuk membuang sampah. Dengan membuang sampah ke sungai, maka sampah akan hanyut dan lingkungan menjadi bersih. Padahal, sampah bisa menyumbat got-got dan sungai yang bila hujan datang menimbulkan banjir ke mana-mana.

Berdasarkan laporan Bank Dunia yang dipublikasikan Metropolitan Environmental Improvement Program (MEIP) tahun 1995, biaya pengolahan sampah di Indonesia 25 tahun kemudian akan meningkat dari 500 juta dolar AS per tahun menjadi sekitar 15 miliar dolar AS atau sekitar 30 triliun rupiah per tahun.

Beberapa tahun yang lalu muncul berita yang menghebohkan, yaitu adanya impor sampah. Di beberapa wilayah terbukti telah ditemukan 100 lebih kontainer yang dipenuhi aneka sampah dari luar negeri. Di Pelabuhan Tanjungpriok ada sekitar 80 kontainer penuh sampah. Dirjen Bea dan Cukai mengakui adanya temuan impor sampah ilegal itu yang di antaranya dikategorikan sebagai limbah bahan beracun berbahaya (B3).

Penanganan sampah banyak tergantung pada kesadaran masyarakat. Kesadaran membuang sampah pada tempatnya harus ditanamkan sejak anak-anak, dimulai dari lingkungan rumah dan sekolah. Bila di rumah sudah terbiasa bersikap bersih, biasanya seseorang akan risi melihat lingkungan yang kotor. Harus diajarkan pula bagaimana memilih dan memilah-milah jenis sampah. Misalnya memisahkan sampah organik di satu kantung plastik, serta sampah non-organik dalam kantung lainnya. Sampah non-organik dapat dipilah lagi menjadi beberapa bagian, seperti plastik, logam, karet, kertas, kain dan beling.

Untuk menjaga kebersihan lingkungan, sampah harus dimusnahkan. Ada beberapa cara untuk memusnahkan sampah, antara lain dengan cara dibakar dan metode Sanitary Landfill. Pemusnahan sampah dengan cara dibakar, selain sulit dilaksanakan disebabkan iklim negeri kita yang lembab atau basah, asap dari pembakaran kerap menimbulkan masalah polusi dan kesehatan. Pemusnahan sampah dengan metode Sanitary  Landfill adalah membuang  dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini tidak menimbulkan polusi udara.

Abdul Afif
Jakarta, 14 Oktober 2008

© Copyright 2024 @ Kemitraan Air Indonesia | inawater.org ~ KAI